Kisah ini sangat memprihatinkan banyak orang khusus untuk mereka yang telah membaca dan memaknai KISAH SUPRIYONO ini,saya hanya kembali memposting lagi,dan kisah ini saya baca dari Pak indra
Supriono, seorang pemulung, membawa mayat anaknya menyusuri jalan-jalan
di Jakarta karena tidak mampu membiayai penguburannya. Ironis, di tengah
masyarakat Ibu Kota yang gemerlap.
Sri Suwarni, warga Manggarai,
Jakarta Selatan, terkejut bukan kepalang. Kakinya gemetar. Supriono,
pria yang pernah mengontrak rumah petaknya, bertandang secara tiba-tiba
dengan cara aneh: menggendong mayat anaknya!. Tamu yang sehari-hari
berprofesi sebagai pemulung itu mengaku kebingungan mencari tempat untuk
mengubur anaknya. “Bude, saya mau minta tolong,†kata Supriono
kepada Sri, pada sebuah magrib hari Minggu, 5 Juni lalu.
Awalnya,
Sri mengira anak dalam gendongan Supriono itu tidur lelap. Apalagi
Supriono, pria asal Muntilan, Jawa Tengah, itu menggendong mayat Nur
Khaerunisa, anaknya, seolah sedang menina-bobokan. “Saya pikir dia mau
jalan-jalan dan butuh ongkos,†kata Sri kepada Tempo, Jumat pekan
lalu. Sri jadi lemas ketika dijelaskan bahwa anak dalam gendongan itu
telah menjadi mayat.
Pertemuan Supriono dengan Sri itu merupakan
ending drama memilukan yang dialami pemulung kardus dan botol plastik
bekas itu. Sekaligus menjadi akhir kisah sedih Supriono sepanjang hari,
menyusuri jalan-jalan Jakarta dengan menggendong anaknya yang telah
tiada. Tanpa diminta, Supriono pun bercerita kepada Sri Suwarni.
——- oo0oo——-
Awal
Juni lalu adalah awal dari kegundahan Supriono. Anak bungsunya, Nur
Khaerunisa, sedang sakit muntaber, sementara biaya berobat tidak ada.
“Saya hanya membawanya sekali ke puskesmas, dokter menyuruh rawat
inap, tapi saya tidak punya uang,†kata Supriono. Apa boleh buat,
tubuh kecil tidak berdaya itu meringkuk di gerobak berukuran sekitar 2
meter persegi, berbaur dengan kardus dan botol plastik bekas. Dalam
kondisi seperti itu, Khaerunisa masih dibawa ayahnya bekerja memungut
barang-barang bekas.
Sebenarnya, dokter di Puskesmas Setiabudi,
Jakarta Pusat, meminta Supriono membawa kembali anaknya untuk berobat.
Kemelaratan yang mendera keluarga pemulung itu membuat sang ayah menolak
anjuran dokter. Sekali berobat ke puskesmas, dia harus membayar
Rp.4000,-! Meski biaya berobat itu sama dengan ongkos parkir mobil di
Jakarta Kota, Supriono tidak sanggup membayarnya karena ia hanya seorang
pemulung. Sebagai pemulung, penghasilannya sekitar Rp 10 ribu setiap
hari. Uang itu harus cukup untuk biaya makan dia dan dua anaknya,
Muriski Saleh dan Nur Khaerunisa. Bagaimana bisa mengobati anak, apalagi
sampai menungguinya di puskesmas? Pekerjaan pemulung harus tetap
dijalani. Khaerunisa yang lemas kesakitan terpaksa pula dibawa dalam
gerobak, sesekali dicandai oleh kakaknya, Muriski Saleh.
Tuhan
rupanya turun tangan menyelamatkan gadis cilik tanpa dosa ini. Setelah
empat hari meringkuk dalam gerobak, Khaerunisa dipanggil menghadap
keribaan-Nya. Pukul 07.00 pagi di hari Minggu, bocah berumur 3 tahun itu
menghembuskan napas terakhirnya di peraduan Tuhan, sebuah gerobak tua
yang berada di sebuah “rumah†yang lapang tanpa atap dan dinding, di
bawah kereta layang di kawasan Cikini. Supriono berkabung, Muriski tak
tahu adiknya meninggal, dan orang-orang sibuk lalu lalang.
Supriono
merogoh saku bajunya. Ada sedikit uang tersisa, tapi tak sampai
Rp.10.000. “Jangankan menguburkan anak, untuk membeli kain kafan saja
saya tidak mampu,†katanya. Kemelaratan membuat Supriono nekat ingin
membawa mayat si bungsu ke Kampung Kramat, Bogor, menggunakan kereta rel
listrik (KRL) Jabotabek. Di sana, sebuah lokasi tempat kaumnya para
pemulung bermukim, dia berharap mendapat bantuan penguburan. Jakarta tak
memungkinkan hal itu. Begitu terlintas dalam pikiran Supriono.
Mayat
si bungsu pun dibawa menggunakan gerobak, alat bekerja sekaligus tempat
tidur kedua anaknya setiap hari. Dia menyusuri Jalan Cikini, Manggarai,
menuju Stasiun Tebet. Mendekati stasiun, Khaerunisa dibopong
menggunakan kain sarung layaknya menggendong anak yang masih hidup. Agar
tidak terlihat sudah meninggal, wajah gadis mungil itu ditutup dengan
kaus. Sementara itu tangan yang lainnya menuntun Muriski Saleh, bocah
enam tahun.
Melihat pria menggendong anak dengan muka tertutup,
seorang pedagang minuman iseng bertanya. “Saya jawab anak saya sudah
mati dan akan dibawa ke Bogor,†kata Supriono berterus terang.
Keterusterangan ini membawa celaka, calon penumpang lain yang mendengar
jawaban itu sontak geger dan heboh. Hari gini gendong mayat naik KRL?
Supriono pun digelandang bak pesakitan ke kantor polis Tebet.
Supriono
lalu diperiksa diperiksa di Polsek Tebet. Lebih dari empat jam duda
cerai dengan Sariyem itu diinterogasi aparat. Kesimpulannya, polisi
tetap curiga, lalu memutuskan mengirim mayat Khaerunisa ke Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo untuk diotopsi. Supriono tunduk dan menyerah. Tetapi
di kamar mayat RSCM, dia menolak tegas anaknya diotopsi. Masalahnya, ia
tidak punya uang untuk biaya otopsi itu, selain dia kasihan melihat
mayat putrinya yang sudah tenang dibedah. Tubuh kaku Khaerunisa akhirnya
tidak jadi dibedah, namun Supriono meneken surat pernyataan menolak
otopsi.
Aneh bin ajaib (atau karena Supriono seorang pemulung?),
mayat kecil itu diperbolehkan dibawa keluar rumah sakit dengan cara
digendong. Ke mana sang anak harus dikuburkan? Pertanyaan itu menghujani
pikiran Supriono. Dalam keadaan bingung, ia membopong mayat anaknya ke
jalanan. Sejumlah sopir ambulans sempat menawarkan jasa untuk mengangkut
mayat itu. Jasa? Ya, jasa di Jakarta berarti Uang. Sopir ambulans
mengurungkan jasa itu begitu mendengar Supriono tidak punya uang untuk
membayarnya.
Orang kecil seperti ditakdirkan berteman dengan
orang kecil. Para pedagang sekitar RSCM, beberapa orang lagi yang
kebetulan ada di trotoar, mulai urunan memberi uang sekadarnya untuk
Supriono. Merasa cukup punya uang dari sedekah, Supriono memanggil sopir
bajaj. Ia tiba-tiba teringat Sri Suwarni, pemilik rumah petak yang
pernah disewanya beberapa tahun lalu. Bajaj pun meluncur ke Jalan
Manggarai Utara VI, Jakarta Selatan, rumah petak Ibu Sri.
Sri
meneteskan air mata. Perempuan mana yang tidak menangis mendengar kisah
sedih di hari Minggu itu? Tubuh mungil dalam balutan kain sarung warna
merah kekuningan itu lantas direngkuh dari dekapan Supriono. Mayat itu
lalu dibaringkan di atas kasur tipis yang berada di ruang tamu rumahnya.
Warga setempat akhirnya dengan tulus urunan membantu mengurus jenazah,
ada yang membeli kain kafan, ada yang memasang bendera kuning di
sudut-sudut gang, ada yang berdoa dan memandikan. Keesokan harinya,
putri bungsu Supriono dimakamkan di Blok A6 No.3 Taman Pemakaman Umum
(TPU) Menteng Pulo. Bunga surga itu pun akhirnya bisa beristirahat
dengan tenang, diantar orang-orang miskin harta akan tetapi kaya amal.
Home »
Edukasi
,
kisah tentang pemulung dan anaknya "pilu"
,
Motivasi
» kisah tentang pemulung dan anaknya "pilu"
kisah tentang pemulung dan anaknya "pilu"
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 comments:
Post a Comment