Untuk membahas konsep-konsep pembangunan yang bertumpu pada masyarakat sebagai jembatan antara pembangunan mikro dan makro, maka pada kesempatan ini bahasan pokok yang akan disampaikan adalah tentang pemberdayaan masyarakat.
Konsep pemberdayaaan masyarakat mencakup pengertian pembangunan masyarakat (community development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community-based development). Pertama-tama perlu terlebih dahulu dipahami arti dan makna keberdayaan dan pemberdayaan masyarakat. Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individuyang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental serta terdidik dan kuat serta inovatif, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi.
Namun, selain nilai fisik di atas, ada pula nilai-nilai intrinsik dalam masyarakat yang juga menjadi sumber keberdayaan, seperti nilai kekeluargaan, kegotong-royongan, kejuangan, dan yang khas pada masyarakat kita, kebinekaan. Keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan (survive), dan dalam pengertian yang dinamismengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat ini menjadi sumber dari apa yang di dalam wawasan politik pada tingkat nasional kita sebut ketahanan nasional. Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.
Dengan kata lain memberdayakan
adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Meskipun pemberdayaan masyarakat
bukan semata-mata sebuah konsep ekonomi, dari sudutpandang kita pemberdayaan
masyarakat secara implisit mengandung arti menegakkan demokrasiekonomi.
Demokrasi ekonomi secara harafiah berarti kedaulatan rakyat di bidang ekonomi,
di mana kegiatan ekonomi yang berlangsung adalah dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Konsep ini menyangkut masalah penguasaan teknologi, pemilikan
modal, akses ke pasar dan ke dalam sumber-sumber informasi, serta keterampilan
manajemen. Agar demokrasi ekonomi dapat berjalan,maka aspirasi masyarakat yang
tertampung harus diterjemahkan menjadi rumusan-rumusan kegiatanyang nyata.
Untuk menerjemahkan rumusan menjadi kegiatan nyata tersebut, negara mempunyai birokrasi.
Birokrasi ini harus dapat berjalan efektif, artinya mampu
menjabarkan dan melaksanakan rumusan-rumusan kebijaksanaan publik (public
policies) dengan baik, untuk mencapai tujuan dan sasaran yang dikehendaki.
Dalam paham bangsa Indonesia, masyarakat adalah pelaku utama pembangunan,
sedangkan pemerintah (birokrasi) berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing,serta
menciptakan iklim yang menunjang. Selanjutnya berturut-turut akan dibahas tujuan
pembangunan,konsep pemberdayaan masyarakat dalam konteks perkembangan paradigma
pembangunan, pendekatan, aspek kelembagaan beserta mekanismenya serta strategi
dalam mewujudkannya.Bahasan ini akan ditutup dengan kajian beberapa kasus
sebagai ilustrasi. Makalah ini diangkat dari bahan kuliah pada Program
Pascasarjana Studi Pembangunan, Institut Teknologi Bandung (ITB), yaitu mata
kuliah Pembangunan yang Bertumpu pada
Masyarakat (SP 607).
GBHN 1993 menegaskan bahwa tujuan pembangunan nasional
dalam PJP II adalahmembangun bangsa yang maju,
mandiri dan sejahtera. Untuk
mencapainya, pertamatama kitaharus memajukan perekonomian seiring dengan kualitas
sumber daya manusia. Taraf kemajuanperekonomian dapat diukur dari berbagai
indikator, antara lain PDB dan PDB per kapita.
Keseimbangankomposisi dalam struktur perekonomian
mencerminkan pula kemajuan perekonomian. Perekonomian yang maju seringkali
diartikan dengan perekonomian yang tidak terlalu bergantung pada sektor primer,
dalam hal ini pertanian dan pertambangan. Perekonomian yang maju
lebihdidominasi oleh peranan sektor industri manufaktur dan jasa. Keseimbangan
struktur ekonomi jugaharus tercermin dalam penyerapan tenaga kerja. Umumnya
komposisi tenaga kerja menurut sektormengikuti keadaan struktur ekonominya.
Kemajuan ekonomi juga dapat dicerminkan dari tingkatketergantungan sumber daya
pembangunan di mana ketergantungan pada sumber daya pembangunandari luar negeri
makin mengecil.
Di
samping semua hal tersebut, perekonomian yang maju jugaditandai dengan makin membaiknya
distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan ini mencakupdistribusi pendapatan antar
daerah, antar golongan dan antara kota dan desa.
Tujuan pembangunan nasional yang kedua adalah membangun
bangsa yang mandiri.Kemandirian adalah tingkat kemajuan yang harus dicapai
suatu bangsa sehingga bangsa itu dapatmembangun dan memelihara kelangsungan
hidupnya berlandaskan kekuatannya sendiri. Ini berartiuntuk membangun bangsa
yang mandiri dibutuhkan perekonomian yang mapan. Kemandirian juga tercermin
pada kemampuan bangsa untuk memenuhi sendiri kebutuhan yang paling pokok.
Tujuan yang ketiga adalah membentuk masyarakat yang
sejahtera. Masyarakat yang sejahtera pada taraf awal pembangunan adalah suatu
masyarakat yang kebutuhan pokoknya terpenuhi. Kebutuhan pokok itu mencakup
pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan.Namun hal itu saja tidak
cukup, karena masyarakat yang sejahtera harus pula berkeadilan. Denganmakin
majunya taraf kehidupan masyarakat, maka masyarakat yang sejahtera akan
menikmatikemajuan hidup secara berkeadilan. Keseluruhan upaya itu harus membangun
kemampuan dankesempatan masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan sehingga
masyarakat bukan hanyasebagai objek tetapi juga subjek pembangunan. Upaya membangun
kemajuan, kemandirian dankesejahteraan itu harus dicapai pula dengan
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Menerapkan Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium
Development Goals (MDGs). Dalam MDGs tersebut, terdapat 8 (delapan) tujuan (goal)
yang hendak dicapai sampai tahun 2015 oleh negara-negara di dunia termasuk
Indonesia, dengan tujuan pertama adalah mengatasi dan/atau memberantas
kemiskinan dan kelaparan (United Nations, 2000). Dengan demikian, pemerintah
Indonesia telah membuat komitmen nasional untuk memberantas kemiskinan dalam
rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dimana
pemerintah dan semua perangkatnya dalam semua level, baik pemerintah pusat,
provinsi, kabupaten/kota bersama-sama dengan berbagai unsur masyarakat memikul
tanggungjawab utama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan sekaligus memberantas
kemiskinan yang terjadi di Indonesia paling lambat tahun 2015. Kendati
Indonesia ikut serta dalam kesepakatan global melaksanakan MDGs untuk mengurangi
kemiskinan dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dicanangkan
PBB sejak 2000, namun dalam Human Development Report 2007 yang dikeluarkan oleh
UNDP, menunjukkan bahwa kualitas manusia Indonesia makin memburuk dalam 10
tahun terakhir. Dalam laporan tersebut, HDI atau IPM Indonesia yang diukur dari
pendapatan riil per kapita, tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf dan
kualitas pendidikan dasarnya, ternyata peringkat Indonesia masih berada di bawah
negara-negara Asia Tenggara lainnya. Peringkat Indonesia dari tahun ketahun
selalu menurun dari 110 menjadi peringkat 112 dari 175 negara yang dinilai UNDP
(2003), walaupun pada tahun 2006 terdapat peningkatan
ranking ke 110 (UNDP, 2007).
III. Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Dalam Konteks Perkembangan Paradigma Pembangunan.
- Konsep-konsep Pembangunan
Sebelum kita membahas hal-hal pokok
mengenai konsep pemberdayaan, ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu konsep
pembangunan yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
manusia dalam arti yang luas. Pembangunan menurut literatur-literatur ekonomi pembangunan
seringkali didefinisikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari peningkatan
pendapatan riil perkapita melalui peningkatan jumlah dan produktivitas sumber daya.
Dari pandangan itu lahir konsep-konsep mengenai pembangunan
sebagai pertumbuhan ekonomi.Teori mengenai pertumbuhan ekonomi dapat ditelusuri
setidak-tidaknya sejak abad ke-
18. Menurut Adam Smith (1776) proses pertumbuhan dimulai
apabila perekonomian mampu melakukan pembagian kerja (division of labor). Pembagian
kerja akan meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya akan meningkatkan
pendapatan. Adam Smith juga menggarisbawahi pentingnya skalaekonomi. Dengan
meluasnya pasar, akan terbuka inovasiinovasi baru yang pada gilirannya akan
mendorong perluasan pembagian kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Setelah
Adam Smith muncul pemikiran-pemikiran yang berusaha mengkaji batas-batas
pertumbuhan (limits to growth) antara lain Malthus (1798) dan Ricardo (1917).
Setelah Adam Smith, Malthus, dan Ricardo yang disebut
sebagai aliran klasik, berkembang teori pertumbuhan ekonomi modern dengan
berbagai variasinya yang pada intinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang
menekankan pentingnya akumulasi modal (physical capital formation) dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia (human
capital). Salah satu pandangan yang dampaknya besar dan berlanjut hingga
sekarang adalah model pertumbuhan yang dikembangkan oleh Harrod (1948) dan
Domar (1946). Pada intinya model ini berpijak pada pemikiran Keynes (1936) yang
menekankan pentingnya aspek permintaan dalammendorong pertumbuhan jangka
panjang.
Dalam model Harrod-Domar, pertumbuhan ekonomi akan
ditentukan oleh dua unsur pokok, yaitu tingkat tabungan (investasi) dan
produktivitas modal (capital output ratio). Agar dapat tumbuh secara
berkelanjutan, masyarakat dalam suatu perekonomian harus mempunyai tabungan
yang merupakan sumber investasi. Makin besar tabungan, yang berarti makin besar
investasi, maka akan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, makin
rendah produktivitas kapital atau semakin tinggi capital output ratio, makin
rendah pertumbuhan ekonomi.
Berbeda dengan Harrod-Domar yang memberikan tekanan
kepada pentingnya peranan modal, Arthur Lewis (1954) dengan model surplus of labornya memberikan tekanan
kepada peranan jumlah penduduk. Dalam model ini diasumsikan terdapat penawaran
tenaga kerja yang sangat elastis. Ini berarti para pengusaha dapat meningkatkan
produksinya dengan mempekerjakan tenaga kerja yang lebih banyak tanpa harus
menaikkan tingkat upahnya. Meningkatnya pendapatan yang dapat diperoleh oleh
kaum pemilik modal akan mendorong investasi-investasi baru karena kelompok ini
mempunyai hasrat menabung dan menanam modal (marginal propensity to save and invest) yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kaum pekerja. Tingkat investasi yang tinggi pada gilirannya
akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu berkembang sebuah model pertumbuhan yang
disebut neoklasik. Teori pertumbuhan neoklasik mulai memasukkan unsur teknologi
yang diyakini akan berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara (Solow,
1957). Dalam teori neoklasik, teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang
tersedia untuk dimanfaatkan oleh semua negara di dunia. Dalam perekonomian yang
terbuka, di mana semua faktor produksi dapat berpindah secara leluasa dan
teknologi dapat dimanfaatkan oleh setiap negara, maka pertumbuhan semua negara di
dunia akan konvergen, yang berarti kesenjangan akan berkurang. Teori
pertumbuhan selanjutnya mencoba menemukan faktor-faktor lain di luar modal dan
tenaga kerja, yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu teori berpendapat
bahwa investasi sumber daya manusia mempunyai pengaruh yang besar terhadap
peningkatan produktivitas. Menurut Becker (1964) peningkatan produktivitas tenaga
kerja ini dapat didorong melalui pendidikan dan pelatihan serta peningkatan
derajat kesehatan. Teori human capital
ini selanjutnya diperkuat dengan berbagai studi empiris, antara lain untuk
Amerika Serikat oleh Kendrick (1976).
Selanjutnya, pertumbuhan yang bervariasi di antara
negara-negara yang membangun melahirkan pandangan mengenai teknologi bukan
sebagai faktor eksogen, tapi sebagai factor endogen yang dapat dipengaruhi oleh
berbagai variabel kebijaksanaan (Romer, 1990). Sumber pertumbuhan dalam teori
endogen adalah meningkatnya stok pengetahuan dan ide baru dalam perekonomian
yang mendorong tumbuhnya daya cipta dan inisiatif yang diwujudkan dalam kegiatan
inovatif dan produktif. Ini semua menuntut kualitas sumber daya manusia yang meningkat.
Transformasi pengetahuan dan ide baru tersebut dapat terjadi
melalui kegiatan perdagangan internasional, penanaman modal, lisensi, konsultasi,
komunikasi, pendidikan, dan aktivitas R & D.Mengenai
peran perdagangan dalam pertumbuhan, Nurkse (1953) menunjukkan bahwa
perdagangan merupakan mesin pertumbuhan selama abad ke-19 bagi
negara-negara yang sekarang termasuk dalam kelompok negara maju seperti Amerika
Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Pada abad itu kegiatan industri yang
termaju terkonsentrasi di Inggris. Pesatnya
perkembangan industri dan pertumbuhan penduduk di Inggris yang miskin sumber
alam telah meningkatkan permintaan bahan baku dan makanan dari negara-negara
yang tersebut di atas. Dengan demikian, pertumbuhan yang terjadi di
Inggris menyebar ke negara lain melalui perdagangan
internasional.
Pandangan-pandangan yang berkembang dalam teori-teori pembangunan
terutama di bidang ekonomi memang mengalir makin deras ke arah manusia (dan
dalam konteks plural ke arah masyarakat atau rakyat)
sebagai pusat perhatian dan sasaran sekaligus pelaku utama pembangunan
(subjek dan objek sekaligus). Salah satu harapan atau anggapan dari pengikut aliran
teori pertumbuhan adalah bahwa hasil pertumbuhan akan dapat dinikmati
masyarakat sampai di lapisan yang paling bawah.
Namun, pengalaman pembangunan dalam tiga dasawarsa (1940-1970)
menunjukkan bahwa yang terjadi adalah rakyat di lapisan bawah tidak senantiasa
menikmati cucuran hasil pembangunan seperti yang
diharapkan itu. Bahkan di banyak negara kesenjangan sosial ekonomi makin
melebar. Hal ini disebabkan oleh karena meskipun pendapatan dan konsumsi makin meningkat,
kelompok masyarakat yang sudah baik keadaannya dan lebih mampu, lebih dapat memanfaatkan
kesempatan, antara lain karena posisinya yang menguntungkan (privileged), sehingga
akan memperoleh semua atau sebagian besar hasil pembangunan. Dengan
demikian, yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap miskin bahkan
dapat menjadi lebih miskin. Cara pandang di atas mendominasi
pemikiran-pemikiran pembangunan (mainstream economics) dekade 50-an dan 60-an dengan ciri utamanya bahwa pembangunan adalah
suatu upaya terencana untuk mengejar pertumbuhan ekonomi agregat. Dan, harus
pula disadari bahwa pemikiran semacam ini masih banyak pengikut dan
pendukungnya sampai saat ini walaupun bukti-bukti
empiris dan uji teoritis menunjukkan bahwa trickle down process tidak
pernah terwujud khususnya di negara-negara yang sedang berkembang.
Oleh karena itu, berkembang berbagai pemikiran untuk mencari alternatif lain
terhadap paradigma yang sematamata memberi
penekanan kepada pertumbuhan. Maka berkembang kelompok
pemikiran yang disebut sebagai paradigma pembangunan sosial yang
tujuannya adalah untuk menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadilan. Salah
satu metode yang umum digunakan dalam menilai pengaruh dari pembangunan terhadap
kesejahteraan masyarakat adalah dengan mempelajari distribusi pendapatan.
Pembagian pendapatan berdasarkan kelas-kelas pendapatan (the size
distribution of income) dapat diukur dengan menggunakan
kurva Lorenz atau indeks Gini. Selain distribusi pendapatan,
dampak dan hasil pembangunan juga dapat diukur dengan melihat tingkat kemiskinan (poverty)
di suatu negara. Berbeda dengan distribusi pendapatan yang menggunakan konsep
relatif, analisis mengenai
tingkat kemiskinan menggunakan konsep absolut atau kemiskinan absolut. Meskipun
pembangunan harus berkeadilan, disadari bahwa pertumbuhan tetap penting. Upaya
untuk memadukan konsep pertumbuhan dan pemerataan merupakan tantangan yang jawabannya
tidak henti-hentinya dicari dalam studi pembangunan. Sebuah model, yang dinamakan pemerataan
dengan pertumbuhan atau redistribution
with growth (RWG) dikembangkan berdasarkan
suatu studi yang disponsori oleh Bank Dunia pada tahun 1974 (Chenery,
et.al.,1974).
Ide dasarnya adalah pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan
sedemikian rupa
Sehingga produsen yang berpendapatan
rendah (yang di banyak negara berlokasi di perdesaan dan
Produsen kecil di perkotaan) akan
mendapat kesempatan untuk meningkatkan pendapatan dan secara
Simultan menerima sumber ekonomi yang
diperlukan. Masih dalam rangka mencari jawaban terhadap tantangan paradigma
keadilan dalam pembangunan, berkembang pendekatan kebutuhan dasar manusia atau
basic human needs (BHN) (Streeten
et al., 1981). Strategi BHN disusun untuk menyediakan barang dan jasa
dasar bagi masyarakat miskin, seperti makanan pokok, air dan sanitasi, perawatan
kesehatan, pendidikan dasar, dan
perumahan. Walaupun RWG and BHN mempunyai tujuan
yang sama, keduanya berbeda dalam hal
kebijaksanaan yang diambil. RWG menekankan pada peningkatan produktivitas dan
daya beli masyarakat miskin, sedangkan BHN menekankan pada penyediaan public
services disertai jaminan kepada
masyarakat miskin agar dapat memperoleh pelayanan tersebut. Masalah
pengangguran juga makin mendapat perhatian dalam rangka pembangunan ekonomi
yang menghendaki adanya pemerataan. Todaro (1985) mengemukakan bahwa terdapat kaitan
yang erat antara pengangguran, ketidakmerataan pendapatan, dan kemiskinan. Pada umumnya mereka
yang tidak dapat memperoleh pekerjaan secara teratur adalah mereka yang
termasuk dalam kelompok masyarakat miskin. Mereka yang memperoleh pekerjaan
secara terus -menerus adalah mereka yang berpendapatan
menengah dan tinggi.
Dengan demikian, memecahkan masalah pengangguran
dapat memecahkan masalah
kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Beberapa ahli berpendapat
pula bahwa pemerataan pendapatan akan meningkatkan penciptaan lapangan kerja (Seers,
1970). Menurut teori ini barang-barang yang dikonsumsikan oleh masyarakat
miskin cenderung lebih bersifat padat tenaga kerja dibandingkan dengan
konsumsi masyarakat yang berpendapatan lebih tinggi.
Dengan demikian, pemerataan pendapatan akan menyebabkan pergeseran
pola permintaan yang pada gilirannya akan menciptakan kesempatan kerja. Dalam
rangka perkembangan teori ekonomi politik dan pembangunan perlu dicatat pula bahwa
aspek ideologi dan politik turut mempengaruhi pemikiran-pemikiran yang
berkembang. Salah satu di antaranya adalah teori ketergantungan yang
dikembangkan terutama berdasarkan keadaan pembangunan
di Amerika Latin pada tahun 1950-an. Ciri utama
dari teori ini adalah bahwa analisisnya didasarkan pada adanya interaksi antara struktur
internal dan eksternal dalam suatu sistem. Menurut teori ini (Baran, 1957),
Keterbelakangan negara-negara Amerika Latin
terjadi pada saat masyarakat prakapitalis tergabung ke dalam system ekonomi
dunia kapitalis. Dengan demikian, masyarakat tersebut kehilangan otonominya dan menjadi
daerah "pinggiran" (periphery) negara metropolitan yang
kapitalis. Daerah (negara) pinggiran dijadikan
"daerah-daerah jajahan" negara-negara metropolitan. Mereka hanya
Berfungsi sebagai produsen bahan
mentah bagi kebutuhan industri daerah (negara) metropolitan tersebut, dan sebaliknya
merupakan konsumen barang-barang jadi yang dihasilkan industri-industri
di negara-negara metropolitan tersebut. Dengan demikian, timbul struktur
ketergantungan yang
merupakan rintangan yang hampir tak dapat diatasi serta merintangi
pula pembangunan yang mandiri. Patut
dicatat adanya dua aliran dalam teori ketergantungan, yaitu aliran Marxis dan Neo Marxis,
serta aliran non-Marxis. Aliran Marxis dan Neo-Marxis menggunakan kerangka Analisis dari
teori Marxis tentang imperialisme. Aliran ini tidak membedakan secara tajam
mana yang termasuk struktur internal ataupun struktur eksternal, karena
kedua struktur tersebut, dipandang sebagai
faktor yang berasal dari sistem kapitalis dunia itu sendiri. Selain itu, aliran
ini mengambil perspektif perjuangan kelas
internasional antara para pemilik modal (para kapitalis) di satu pihak dan kaum
buruh di lain pihak.
Untuk memperbaiki nasib buruh, maka perlu mengambil prakarsa dengan menumbangkan
kekuasaan yang ada. Oleh karena itu, menurut aliran ini, resep pembangunan untuk daerah
pinggiran adalah revolusi (Frank, 1967). Sedangkan aliran kedua, melihat
masalah ketergantungan dari perspektif nasional atau regional. Menurut
aliran ini struktur dan kondisi internal pada
umumnya dilihat sebagai faktor yang berasal dari sistem itu sendiri, meskipun
struktur internal ini pada masa lampau atau
sekarang dipengaruhi oleh faktor-faktor luar negeri (lihat misalnya Dos Santos
dan Bernstein, 1969; Tavares dan Serra, 1974; serta Cariola dan Sunkel, 1982).
Oleh karena itu, subjek yang perlu dibangun adalah "bangsa" atau
"rakyat" dalam suatu Negara (nation building). Dalam
menghadapi tantangan pembangunan maka konsep negara atau bangsa ini perlu
dijadikan landasan untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan. Pandangan
bahwa pembangunan tidak seyogyanya hanya memperhatikan tujuan-tujuan sosial
ekonomi, berkembang luas. Masalah-masalah demokrasi dan hak-hak asasi manusia menjadi pembicaraan
pula dalam kajian-kajian pembangunan (antara lain lihat Bauzon, 1992).
Goulet, (1977) yang mengkaji falsafah dan etika
pembangunan, misalnya, mengetengahkan bahwa proses pembangunan harus
menghasilkan.
(1) terciptanya "solidaritas baru" yang mendorong
pembangunan yang berakar dari bawah (grassroots oriented),
(2) memelihara keberagaman budaya dan lingkungan, dan
(3)
menjunjung tinggi martabat serta kebebasan bagi manusia dan masyarakat.
Dalam pembahasan mengenai berbagai paradigma yang mencari jalan
kearah pembangunan yang berkeadilan perlu diketengahkan pula teori pembangunan
yang berpusat pada rakyat. Era pascaindustri menghadapi
kondisi-kondisi yang sangat berbeda dari kondisi-kondisi era industri
dan menyajikan potensi-potensi baru yang penting guna memantapkan pertumbuhan
dan kesejahteraan manusia, keadilan dan kelestarian pembangunan itu
sendiri (Korten, 1984). Logika yang dominan dari paradigma
ini adalah suatu ekologi manusia yang seimbang, dengan sumber-sumber
daya utama berupa sumber-sumber daya informasi dan prakarsa kreatif yang tak habis habisnya,
dan yang tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia yang didefinisikan sebagai perwujudan
yang lebih tinggi dari potensi-potensi manusia. Paradigma ini memberi peran
kepada individu bukan sebagai objek, melainkan sebagai pelaku yang
menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan
proses yang mempengaruhi kehidupannya. Pembangunan yang berpusat
pada rakyat menghargai dan mempertimbangkan prakarsa rakyat dan kekhasan setempat. Paradigma
yang terakhir, yang tidak dapat dilepaskan dari paradigma pembangunan social dan
berbagai pandangan di dalamnya yang telah dibahas terdahulu, adalah paradigm pembangunan manusia.
Menurut pendekatan ini, tujuan utama dari pembangunan adalah
menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakatnya untuk menikmati
kehidupan yang kreatif, sehat dan berumur
panjang. Walaupun sederhana, tujuan ini sering terlupakan oleh keinginan untuk meningkatkan
akumulasi barang dan modal. Banyak pengalaman pembangunan menunjukkan bahwa kaitan
antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia tidaklah terjadi
dengan sendirinya.
Pengalaman- pengalaman tersebut mengingatkan bahwa pertumbuhan
produksi dan pendapatan (wealth) hanya merupakan alat saja, sedangkan tujuan akhir pembangunan
harus manusianya sendiri.
Menurut pandangan ini tujuan pokok pembangunan adalah memperluas
pilihan-pilihan manusia (Ul Haq, 1985). Pengertian ini mempunyai dua sisi. Pertama,
pembentukan kemampuan manusia seperti tercermin
dalam kesehatan, pengetahuan dan keahlian yang meningkat. Kedua, penggunaan kemampuan
yang telah dipunyai untuk bekerja, untuk menikmati kehidupan atau untuk aktif
dalam kegiatan kebudayaan, sosial, dan politik. Paradigma pembangunan manusia
yang disebut sebagai sebuah konsep yang holistik mempunyai 4 unsur penting, yakni: (1)
peningkatan produktivitas; (2) pemerataan kesempatan; (3) kesinambungan
pembangunan; serta (4) pemberdayaan manusia.
Konsep ini diprakarsai dan ditunjang oleh UNDP, yang mengembangkan
Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Indeks ini
merupakan indikator komposit/ gabungan yang terdiri dari 3
ukuran, yaitu kesehatan (sebagai ukuran longevity), pendidikan (sebagai ukuran knowledge)
dan tingkat pendapatan riil
(sebagai ukuran living standards). Masih
dalam taraf pengembangan sekarang muncul pula gagasan pembangunan yang berkelanjutan
yang erat kaitannya dengan kesejahteraan yang semakin terus meningkat dari generasi ke
generasi -- jaminan pemerataan pembangunan antargenerasi
--. Dalam konsep ini pemakaian dan hasil
penggunaan sumber daya alam dan lingkungan yang merusak sumbernya tidak
dihitung sebagai konstribusi terhadap pertumbuhan tetapi
sebagai pengurangan aseet. Penting kita perhatikan hal ini, karena
bangsa yang kaya hari ini, bisa menjadi paling miskin
di hari kemudian, seperti bangsa Mesir, Palestina,
dan India.
Demikianlah, berbagai aliran pemikiran dalam studi pembangunan,
yang berkembang selama ini. Meskipun belum memuaskan
beberapa pihak, konsep pembangunan manusia dapat dianggap
paling lengkap dan dikatakan sebagai sudah merupakan sintesa dari
pendekatanpendekatan sebelumnya.
Sebenarnya pandangan serupa ini telah kita mulai sejak awal
pembangunan. Oleh karena itu, sejak GBHN Pertama dalam
Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I), kita telah merumuskan bahwa
hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya dan
masyarakat seluruhnya. Sejak Repelita II, kita telah menegaskan strategi
pembangunan yang bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yang
memadukan pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas, sebagai kunci-kunci keberhasilan
pembangunan. Program pemerataan dalam rangka Trilogi ini dalam PJP
I kita jabarkan dalam delapan jalur pemerataan.
- Masalah Kesenjangan
Kenyataan
menunjukkan bahwa meskipun telah banyak hasil dicapai dalam PJP I, masalah kesenjangan secara
mendasar belum dapat kita pecahkan. Satu dari setiap tujuh orang Indonesia miskin sekali. Dari
Sensus Penduduk tahun 1990 diketahui 3,2 persen angkatan kerja menganggur, sekitar 36,6 persen
dari jumlah penduduk yang bekerja, bekerja kurang dari 35 jam per minggu atau
setengah
menganggur, dan lebih dari 77 persen pekerja hanya berpendidikan sampai Sekolah Dasar.
Lebih dari 97 persen unit usaha pada tahun 1992 beromzet kurang
dari Rp 50 juta per tahun. Satu
di antara dua (51,6 persen) rumah tangga petani adalah petani
gurem, yang menguasai lahan pertanian kurang dari
setengah hektar. Jumlah petani gurem ini bukannya berkurang, tetapi
bahkan bertambah. Rakyat di daerah perdesaan dan di kawasan-kawasan
tertinggal seperti di banyak
bagian kawasan timur Indonesia dan juga di beberapa bagian kawasan barat,
hidup di dunia lain, yang sangat terbelakang
dan sangat jauh dari kehidupan modern. Dari sisi
distribusi pendapatan masyarakat yang diukur dengan pengeluaran konsumsi rumah tangga,
nampak bahwa tingkat pendapatan masyarakat berpendapatan tinggi meningkat lebih cepat dibanding
kenaikan pendapatan kelompok penduduk berpendapatan rendah. Data susenas menunjukkan
bahwa rata-rata laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk 40 persen
penduduk terendah pendapatannya perbulan dalam periode 1984-1993 adalah 3,8 persen per tahun,
sedangkan rata-rata pengeluaran konsumsi rumah tangga secara nasional selama
kurun waktu yang sama meningkat 4,8 persen pertahun. Lebih
lanjut data sistem neraca sosial ekonomi (SNSE) tahun 1980 dan 1990 menunjukkan tidak
terjadi pergeseran yang berarti dalam persentase jumlah penduduk golongan atas dan golongan bawah.
Persentase jumlah penduduk golongan atas tetap sekitar 42 persen dan jumlah
penduduk golongan bawah sekitar 58 persen. Apabila
dibandingkan dengan pendapatan rata-rata penduduk miskin, dengan garis kemiskinan
berdasarkan pengeluaran rata-rata per kapita per bulan sekitar Rp 13.300 di perdesaan dan
Rp 20.600 di perkotaan pada tahun 1990, maka terdapat jumlah penduduk
miskin sebanyak 27,2 juta (15,1 persen). Pada tahun 1993 dengan garis kemiskinan per
kapita per bulan sekitar Rp 18.250 di
perdesaan dan Rp 27.900 di perkotaan, jumlah penduduk miskin berkurang menjadi
25,9 juta jiwa (13,7 persen). Meskipun jumlah penduduk miskin terus menurun,
namun masih cukup besar, karena satu
dari setiap tujuh orang Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Di
samping itu, laju penurunannya semakin lambat, selama tiga tahun hanya
terjadi penurunan sebanyak 1,3 juta, dan dari segi
persentase turunnya hanya 1,4 persen. Dengan
membandingkan angka-angka itu dapat ditarik kesimpulan bahwa, pertama,
jumlah penduduk miskin berkurang; kedua, persentase penduduk
golongan bawah dan golongan atas tidak banyak
berubah; dan ketiga, tingkat pendapatan golongan penduduk miskin
meningkat tetapi golongan penduduk berpendapatan tinggi naik lebih cepat. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa
meskipun pembangunan telah banyak menunjukkan keberhasilan, namun
terdapat kesenjangan pendapatan antargolongan penduduk yang dirasakan makin melebar. Masalah-masalah
kesenjangan ini harus kita hadapi dalam PJP II. Padahal dalam PJP II kita sudah
memasuki jaman dunia baru, yang berbeda dengan yang kita kenal selama ini.
Jaman baru ini akan ditandai oleh keterbukaan dan persaingan, yang peluangnya
belum tentu dapat dimanfaatkan dengan baik oleh golongan
yang ekonominya lemah. Dalam keadaan demikian, besar sekali kemungkinan
makin melebarnya kesenjangan. Iwan Jaya Azis, misalnya, dalam pidato pengukuhannya
sebagai guru besar di Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia menunjukkan pula kerisauannya
bahwa perdagangan bebas tidak harus akan bermanfaat
terhadap perbaikan distribusi pendapatan (Azis, 1996).
Padahal kita memikul tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan social bagi
seluruh rakyat sebagai salah satu tujuan kita membuat negara yang merdeka.
Kalau UUD 1945 dibaca dengan baik, dipahami sejarah penyusunannya,
serta dipelajari latar
belakang pemikiran para penyusunnya, jelas bahwa republik ini
disusun berdasarkan semangat
kerakyatan. Dalam bidang ekonomi tegas diamanatkan Demokrasi
Ekonomi.
Demokrasi Ekonomi secara harfiah berarti kedaulatan rakyat di
bidang kehidupan ekonomi. Dengan lebih
tegas lagi, demokrasi ekonomi adalah kegiatan ekonomi dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat. Atau dengan rumusan UUD 45: "Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua
di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan
bukan kemakmuran orang seorang". Kemajuan yang ingin diupayakan melalui pembangunan
nasional, khususnya pembangunan ekonomi, haruslah meningkatkan kemakmuran atas dasar
keadilan sosial, atau menurut kata-kata UUD 45: "kemakmuran bagi semua
orang!" Arah perkembangan ekonomi seperti yang dikehendaki oleh konstitusi itu
tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Artinya, kemajuan yang diukur melalui membesarnya
produksi nasional tidak otomatis menjamin
bahwa pertumbuhan tersebut mencerminkan peningkatan kesejahteraan secara merata.
Masalah utamanya, seperti telah ditunjukkan di atas, adalah ketidakseimbangan
dalam kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang terbuka
dalam proses pembangunan. Dengan proses pembangunan yang
terus berlanjut, justru ketidakseimbangan itu dapat makin
membesar yang mengakibatkan makin melebarnya jurang kesenjangan.
Dalam upaya mengatasi tantangan itu diletakkan strategipemberdayaan masyarakat. Dasar pandangannya
adalah bahwa upaya yang dilakukan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya,
yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal dalam masyarakat harus
ditingkatkan kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya, dengan
kata lain, memberdayakannya. Secara praktis upaya yang
merupakan pengerahan sumber daya untuk mengembangkan potensi
ekonomi rakyat ini akan meningkatkan produktivitas rakyat sehingga baik sumber
daya manusia maupun sumber daya alam di sekitar keberadaan rakyat dapat
ditingkatkan produktivitasnya. Dengan demikian, rakyat dan
lingkungannya mampu secara partisipatif menghasilkan dan menumbuhkan
nilai tambah ekonomis. Rakyat miskin atau yang berada pada posisi belum termanfaatkan
secara penuh potensinya akan meningkat bukan hanya ekonominya, tetapi juga harkat, martabat,
rasa percaya diri, dan harga dirinya. Dengan demikian, dapatlah diartikan bahwa pemberdayaan
tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah
sosial dan nilai tambah budaya. Jadi, partisipasi rakyat meningkatkan
emansipasi rakyat.
Oleh:
Ginandjar Kartasasmita
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua
Bappenas
Disampaikan pada Sarasehan DPD GOLKAR Tk. I Jawa Timur
Surabaya, 14 Maret 1997
www.ginandjar.com
0 comments:
Post a Comment